Viet Writer
Và Mai Có Nắng
-
Bab 47
Bab 47 Bagus Jika Tidak Bisa Mati
Ariella kembali tersadar dan bergegas mengikuti, tapi malah dihentikan oleh Daiva: “Ariella, ada kamu yang mengurus Presdir, kamu tidak perlu repot-repot. Kamu harus pergi bekerja jadi pergilah bekerja.”
Mendengar kata-kata Daiva, Ariella merasa sangat tidak nyaman, sangat amat jelas bahwa dia diperlakukan sebagai orang luar.
Suaminya sakit, tapi dia bahkan tidak bisa mendekat, hati Ariella sangat tertekan seakan ada orang yang menampar wajahnya dengan keras.
Dia baru menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar masuk ke dalam kehidupan Carlson, latar belakang Carlson, pekerjaan Carlson, semua yang ada di diri Carlson, baginya seakan tidak bisa tersentuh.
Bahkan sekarang Carlson sakit saja, dia tidak bisa merawatnya sebagai seorang istri.
Dia hampir curiga, apakah Carlson benar-benar suaminya?
Ariella menggigit bibirya, makin berpikir hatinya merasa makin tidak nyaman, pertama karena khawatir tentang Carlson, kedua karena hatinya panik.
“Guk guk…” Mianmian yang bisa merasakan bahwa Ariella sedang dalam mood yang buruk, menyerusuk di antara kakinya dan menggonggong beberapa kali untuk menghiburnya.
Ariella berjongkok, dengan pelan membelai kepala Mianmian: “Mianmian, Paman Carlson sakit, tapi Ibu aku tidak bisa merawatnya di sisinya. Apa menurutmu Ibu sangat tidak berguna?”
“Guk guk…” Mianmian menggonggong beberapa kali, dan juga menjilat tangan Ariella, menggunakan caranya sendiri unutk menghibur Ariella.
“Terima kasih Mianmian.” Ariella menepuk kepala Mianmian, “Sayang, pergilah bermain. Ibu akan bersiap untuk pergi bekerja.”
Teknologi Inovatif sekarang banyak hal yang harus dipikirkan, masalah Group Primedia dan Canics masih belum berhenti, Carlson juga sakit.
Ariella tidak bisa mengurus hal besar seperti pengambilan keputusan, tapi dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan itu dapat dianggap sebagai berbagi beberapa tanggung jawab dengan Carlson.
Akhir-akhir ini, karena bisnis Teknologi Inovatif sedang menurun, suasana hati karyawan juga terpengaruh, suasana hati semua pekerja saat sedang bekerja tidak terlalu bersemangat.
Ariella tidak tahu apakah Carlson tidak bisa melawan Group Primedia, atau dia sedang bertindak dalam diam, berusaha mencari waktu yang tepat untuk melakukan serangan balik.
Beberapa rekan kerja di kantor sedang mengobrol, ada yang memainkan akun sosial media, hanya ada satu yang serius bekerja, situasi seperti ini sangat mengkhawatirkan.
Menghela nafas dengan tenang, Ariella menenangkan emosinya, membuka komputer kerja, dan bersiap untuk memulai pekerjaan.
Pertama-tama dia melihat beberapa profil klien, kemudian dia membuka satu per satu kontak mereka, melihat apakah bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu, dan kemudian berbicara dengan klien tentang proyek kerja sama.
Setelah melakukan beberapa panggilan, pihak lain itu dengan segera menutup telepon dengan alasan sibuk, yang membuat Ariella merasakan penolakan.
Sebagian besar waktu di pagi hari hanya dihabiskan Ariella dengan penolakan dan khawatir tentang penyakit Carlson, pada jam 10 pagi, telepon dari Carlson datang.
Melihat nomor telepon yang familier yang ditampilkan di layar ponsel, Ariella memegang ponselnya dan tangannya sedikit gemetar, ketika dia ingin menggeser untuk menjawab telepon dia terlalu panik hingga tidak tergeser untuk terjawab beberapa kali.
Setelah tidak mudah akhirnya terhubung, mendengar suara rendah dan serak Carlson di ujung telepon: “Ariella, kamu di mana?”
“Bekerja di kantor.” Mendengar suara Carlson, sarafnya yang sedari pagi menegang tiba-tiba relaks.
Perkataan Ariella diucapkan, telepon itu keheningan yang panjang, Carlson tampaknya tidak berniat untuk mengatakan kalimat berikutnya
Ariella menunggu, ketika akan berbicara, kemudian mendengar Carlson berkata: “Kalau begitu lanjutkan bekerja.”
“Carlson …” Ariella memanggilnya, menjilat bibirnya, “Apa kamu sudah lebih baik?”
“Tidak akan bisa mati.”
Suara acuh tak acuh Carlson terdengar di telinga Ariella melalui telepon, membuat Ariella merasa sedih dan juga sedikit marah.
Dia menggigit bibirnya, dengan sedikit marah berkata: “Baguslah jika tidak akan bisa mati. Ya sudah, aku akan lanjut bekerja.”
“Ya.” Pria di ujung sana mendengus dengan acuh tak acuh, terlebih dulu menutup telepon.
Melihat layar ponsel yang gelap, hati Ariella seakan dicengkram erat oleh sesuatu, sedikit tidak bisa bernafas.
Ariella mengkhawatirkan kondisinya seharian ini, khawatir hingga gelisah, dan dia masih belum bertanya tentang kondisinya, Carlson bahkan sudah menutup telepon.
Ariella menatap layar ponsel dengan fokus, layar ponselnya kembali menyala, kali ini panggilan dari Daiva.
Daiva menelepon, menyuruh Ariella segera bergegas ke Rumah Sakit Aces.
Rumah Sakit Aces adalah rumah sakit swasta yang sangat terkenal, dikatakan bahwa peralatan medis di sini lebih maju daripada Rumah Sakit Rakyat Pertama Kota Pasirbumi, dan tentu saja harganya juga sangat mahal.
Meskipun Ariella masih sedikit marah pada sikap Carlson tadi ketika sedang berbicara, tapi tidak mungkin dia marah terus padanya, Ariella harus melihatnya baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri baru dia bisa merasa tenang.
Setelah percakapan dengan Daiva selesai, Ariella langsung ijin pulang dan membuat bubur sayuran, setelah demam tinggi seharusnya memakan makanan yang tidak terlalu berat.
Ariella pulang ke rumah dari kantor dan langsung membuat bubur, kemudian dari rumah bergegas ke Rumah Sakit Aces sudah hampir menjelang siang.
Penjaga gerbang Rumah Sakit Aces sangat ketat, orang biasa tidak bisa masuk, karena itu Daiva menunggu di luar sedari awal.
Melihat Ariella, dia tersenyum menyambutnya: “Nyonya, pagi tadi karena aku khawatir mengenai keselamatan Presdir, aku sedikit tidak memperhatikan perkataanku, mohon jangan kamu masukkan ke dalam hati.”
“Tidak masalah.” Yang Ariella pedulikan bukan sikap Daiva, yang dipedulikannya adalah ketika Carlson sakit, dia sebagai istrinya tidak bisa membantu apa-apa.
Dia dan Carlson adalah suami istri, seharusnya hubungan mereka yang paling intim, tapi pagi ini membuatnya merasa bahwa dia dan Carlson sebenarnya bukanlah apa-apa.
Setelah lebih dari sepuluh menit Ariella baru datang ke bangsal Carlson, Daiva berkata: “Ini adalah bangsal Presdir, aku tidak masuk.”
Ariella mengangguk: “Maaf merepotkanmu.”
Pintunya tidak terkunci, Ariella melihat dari celah di pintu, melihat seorang wanita paruh baya berusia sekitar 50 tahun sedang membantu Carlson menyiapkan makanan.
Wanita itu mengeluarkan berbagai kotak makanan dari sebuah kotak makanan yang indah dan meletakkannya di atas meja, setiap gerakannya sangat terampil, dapat terlihat bahwa dia sering melakukan hal-hal ini.
Melihat sudah ada seseorang yang telah menyiapkan begitu banyak makanan untuk Carlson, Ariella melihat kotak makan di tangannya, secara tidak sadar menyembunyikannya di belakang tubuhnya, tidak ingin Carlson melihat makanan yang dia siapkan untuknya begitu buruk.
Ariella mendorong pintu untuk masuk, wanita itu segera melihat ke arahnya, melihatnya sekilas, kemudian matanya jatuh ke kotak makan di tangannya, pandangannya sedikit menilai.
Bangsal ini adalah suite dengan satu ruang tamu dan satu kamar tidur, ruang tamu adalah area untuk istirahat, yang didekorasi dengan sangat hangat, semua perabotan dan peralatan lengkap.
Carlson tidak terlihat di ruang tamu, Ariella juga tidak yakin apa Carlson berada di dalam kamar.
Ariella melihat wanita itu dan tersenyum canggung: “Apakah Carlson dirawat di sini?”
Wanita itu memandanginya sebentar, kemudian menunjuk ke kamar di dalam: “Tuan muda ada di dalam kamar.”
“Terima kasih!” Ariella tersenyum dan mengangguk dengan sopan pada wanita itu, meletakkan kotak makannya di atas meja, kemudian pergi ke kamar untuk melihat Carlson.
Di dalam adalah bangsal, Carlson yang mengenakan pakaian pasien sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, tangan kirinya diinfus, tangan kanannya memegang koran.
“Carlson.” Ariella memanggilnya tapi dia tidak mengangkat kepalanya, seolah-olah dia tidak mendengar suara Ariella.
Ariella kembali tersadar dan bergegas mengikuti, tapi malah dihentikan oleh Daiva: “Ariella, ada kamu yang mengurus Presdir, kamu tidak perlu repot-repot. Kamu harus pergi bekerja jadi pergilah bekerja.”
Mendengar kata-kata Daiva, Ariella merasa sangat tidak nyaman, sangat amat jelas bahwa dia diperlakukan sebagai orang luar.
Suaminya sakit, tapi dia bahkan tidak bisa mendekat, hati Ariella sangat tertekan seakan ada orang yang menampar wajahnya dengan keras.
Dia baru menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar masuk ke dalam kehidupan Carlson, latar belakang Carlson, pekerjaan Carlson, semua yang ada di diri Carlson, baginya seakan tidak bisa tersentuh.
Bahkan sekarang Carlson sakit saja, dia tidak bisa merawatnya sebagai seorang istri.
Dia hampir curiga, apakah Carlson benar-benar suaminya?
Ariella menggigit bibirya, makin berpikir hatinya merasa makin tidak nyaman, pertama karena khawatir tentang Carlson, kedua karena hatinya panik.
“Guk guk…” Mianmian yang bisa merasakan bahwa Ariella sedang dalam mood yang buruk, menyerusuk di antara kakinya dan menggonggong beberapa kali untuk menghiburnya.
Ariella berjongkok, dengan pelan membelai kepala Mianmian: “Mianmian, Paman Carlson sakit, tapi Ibu aku tidak bisa merawatnya di sisinya. Apa menurutmu Ibu sangat tidak berguna?”
“Guk guk…” Mianmian menggonggong beberapa kali, dan juga menjilat tangan Ariella, menggunakan caranya sendiri unutk menghibur Ariella.
“Terima kasih Mianmian.” Ariella menepuk kepala Mianmian, “Sayang, pergilah bermain. Ibu akan bersiap untuk pergi bekerja.”
Teknologi Inovatif sekarang banyak hal yang harus dipikirkan, masalah Group Primedia dan Canics masih belum berhenti, Carlson juga sakit.
Ariella tidak bisa mengurus hal besar seperti pengambilan keputusan, tapi dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan itu dapat dianggap sebagai berbagi beberapa tanggung jawab dengan Carlson.
Akhir-akhir ini, karena bisnis Teknologi Inovatif sedang menurun, suasana hati karyawan juga terpengaruh, suasana hati semua pekerja saat sedang bekerja tidak terlalu bersemangat.
Ariella tidak tahu apakah Carlson tidak bisa melawan Group Primedia, atau dia sedang bertindak dalam diam, berusaha mencari waktu yang tepat untuk melakukan serangan balik.
Beberapa rekan kerja di kantor sedang mengobrol, ada yang memainkan akun sosial media, hanya ada satu yang serius bekerja, situasi seperti ini sangat mengkhawatirkan.
Menghela nafas dengan tenang, Ariella menenangkan emosinya, membuka komputer kerja, dan bersiap untuk memulai pekerjaan.
Pertama-tama dia melihat beberapa profil klien, kemudian dia membuka satu per satu kontak mereka, melihat apakah bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu, dan kemudian berbicara dengan klien tentang proyek kerja sama.
Setelah melakukan beberapa panggilan, pihak lain itu dengan segera menutup telepon dengan alasan sibuk, yang membuat Ariella merasakan penolakan.
Sebagian besar waktu di pagi hari hanya dihabiskan Ariella dengan penolakan dan khawatir tentang penyakit Carlson, pada jam 10 pagi, telepon dari Carlson datang.
Melihat nomor telepon yang familier yang ditampilkan di layar ponsel, Ariella memegang ponselnya dan tangannya sedikit gemetar, ketika dia ingin menggeser untuk menjawab telepon dia terlalu panik hingga tidak tergeser untuk terjawab beberapa kali.
Setelah tidak mudah akhirnya terhubung, mendengar suara rendah dan serak Carlson di ujung telepon: “Ariella, kamu di mana?”
“Bekerja di kantor.” Mendengar suara Carlson, sarafnya yang sedari pagi menegang tiba-tiba relaks.
Perkataan Ariella diucapkan, telepon itu keheningan yang panjang, Carlson tampaknya tidak berniat untuk mengatakan kalimat berikutnya
Ariella menunggu, ketika akan berbicara, kemudian mendengar Carlson berkata: “Kalau begitu lanjutkan bekerja.”
“Carlson …” Ariella memanggilnya, menjilat bibirnya, “Apa kamu sudah lebih baik?”
“Tidak akan bisa mati.”
Suara acuh tak acuh Carlson terdengar di telinga Ariella melalui telepon, membuat Ariella merasa sedih dan juga sedikit marah.
Dia menggigit bibirnya, dengan sedikit marah berkata: “Baguslah jika tidak akan bisa mati. Ya sudah, aku akan lanjut bekerja.”
“Ya.” Pria di ujung sana mendengus dengan acuh tak acuh, terlebih dulu menutup telepon.
Melihat layar ponsel yang gelap, hati Ariella seakan dicengkram erat oleh sesuatu, sedikit tidak bisa bernafas.
Ariella mengkhawatirkan kondisinya seharian ini, khawatir hingga gelisah, dan dia masih belum bertanya tentang kondisinya, Carlson bahkan sudah menutup telepon.
Ariella menatap layar ponsel dengan fokus, layar ponselnya kembali menyala, kali ini panggilan dari Daiva.
Daiva menelepon, menyuruh Ariella segera bergegas ke Rumah Sakit Aces.
Rumah Sakit Aces adalah rumah sakit swasta yang sangat terkenal, dikatakan bahwa peralatan medis di sini lebih maju daripada Rumah Sakit Rakyat Pertama Kota Pasirbumi, dan tentu saja harganya juga sangat mahal.
Meskipun Ariella masih sedikit marah pada sikap Carlson tadi ketika sedang berbicara, tapi tidak mungkin dia marah terus padanya, Ariella harus melihatnya baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri baru dia bisa merasa tenang.
Setelah percakapan dengan Daiva selesai, Ariella langsung ijin pulang dan membuat bubur sayuran, setelah demam tinggi seharusnya memakan makanan yang tidak terlalu berat.
Ariella pulang ke rumah dari kantor dan langsung membuat bubur, kemudian dari rumah bergegas ke Rumah Sakit Aces sudah hampir menjelang siang.
Penjaga gerbang Rumah Sakit Aces sangat ketat, orang biasa tidak bisa masuk, karena itu Daiva menunggu di luar sedari awal.
Melihat Ariella, dia tersenyum menyambutnya: “Nyonya, pagi tadi karena aku khawatir mengenai keselamatan Presdir, aku sedikit tidak memperhatikan perkataanku, mohon jangan kamu masukkan ke dalam hati.”
“Tidak masalah.” Yang Ariella pedulikan bukan sikap Daiva, yang dipedulikannya adalah ketika Carlson sakit, dia sebagai istrinya tidak bisa membantu apa-apa.
Dia dan Carlson adalah suami istri, seharusnya hubungan mereka yang paling intim, tapi pagi ini membuatnya merasa bahwa dia dan Carlson sebenarnya bukanlah apa-apa.
Setelah lebih dari sepuluh menit Ariella baru datang ke bangsal Carlson, Daiva berkata: “Ini adalah bangsal Presdir, aku tidak masuk.”
Ariella mengangguk: “Maaf merepotkanmu.”
Pintunya tidak terkunci, Ariella melihat dari celah di pintu, melihat seorang wanita paruh baya berusia sekitar 50 tahun sedang membantu Carlson menyiapkan makanan.
Wanita itu mengeluarkan berbagai kotak makanan dari sebuah kotak makanan yang indah dan meletakkannya di atas meja, setiap gerakannya sangat terampil, dapat terlihat bahwa dia sering melakukan hal-hal ini.
Melihat sudah ada seseorang yang telah menyiapkan begitu banyak makanan untuk Carlson, Ariella melihat kotak makan di tangannya, secara tidak sadar menyembunyikannya di belakang tubuhnya, tidak ingin Carlson melihat makanan yang dia siapkan untuknya begitu buruk.
Ariella mendorong pintu untuk masuk, wanita itu segera melihat ke arahnya, melihatnya sekilas, kemudian matanya jatuh ke kotak makan di tangannya, pandangannya sedikit menilai.
Bangsal ini adalah suite dengan satu ruang tamu dan satu kamar tidur, ruang tamu adalah area untuk istirahat, yang didekorasi dengan sangat hangat, semua perabotan dan peralatan lengkap.
Carlson tidak terlihat di ruang tamu, Ariella juga tidak yakin apa Carlson berada di dalam kamar.
Ariella melihat wanita itu dan tersenyum canggung: “Apakah Carlson dirawat di sini?”
Wanita itu memandanginya sebentar, kemudian menunjuk ke kamar di dalam: “Tuan muda ada di dalam kamar.”
“Terima kasih!” Ariella tersenyum dan mengangguk dengan sopan pada wanita itu, meletakkan kotak makannya di atas meja, kemudian pergi ke kamar untuk melihat Carlson.
Di dalam adalah bangsal, Carlson yang mengenakan pakaian pasien sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, tangan kirinya diinfus, tangan kanannya memegang koran.
“Carlson.” Ariella memanggilnya tapi dia tidak mengangkat kepalanya, seolah-olah dia tidak mendengar suara Ariella.