Viet Writer
Và Mai Có Nắng
-
Bab 75
Bab 75 Ketakutan Yang Tidak Jelas
Presdir Carlson mereka ini merupakan seorang kaisar kerjaan bisnis dalam soal pekerjaan, tapi dia seperti orang idiot dalam hal yang berhubungan dengan cara bagaimana membuat seorang wanita bahagia.
Langkah pertama, tidak memakai supir, jangan ada asisten di sekitar, dua orang berjalan dengan santai, mengobrol dan meningkatkan perasaan mereka.
Jadi Carlson menyuruh supir dan asistennya pergi, kemudian menarik Ariella untuk berjalan-jalan, tapi dia tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
“Apa kamu suka?” Tanya Carlson.
Nada bicara Carlson sangat berhati-hati dan serius, jika Ariella mengatakan dia tidak menyukainya, maka Carlson benar-benar tidak tahu bagaimana dia harus membuat Ariella bahagia.
Ariella mengangguk: “Kamu bilang itu adalah tempat yang disukai oleh para wanita. Aku wanita, tentu saja aku juga akan menyukainya.”
Setelah selesai berbicara, Ariella memberinya senyum lebar yang menyatakan rasa kepuasannya.
“Hmm.” Carlson menjawab sekilas, tapi dalam hatinya dia mengerti, senyum Ariella ini tidak sama dengan sebelumnya.
Kemudian, Carlson tidak berbicara lagi, menggandeng tangan Ariella kemudian berjalan dengan santai ke depan.
“Apa kamu merasa bosan berjalan-jalan keluar denganku?” Carlson tidak mengambil inisiatif untuk mengobrol, jadi Ariella tidak punya pilihan selain mencari topik pembicaraan.
“Tidak bosan.” Carlson menjawab dengan sangat sederhana. Jika bosan, dia tidak akan meminta Ariella untuk keluar berjalan-jalan bersama.
Jawaban Carlson ini benar-benar memutuskan topik pembicaraan.
Ariella menghela nafas dalam hatinya, benar-benar Presdir yang sangat dingin.
Ariella menggaruk kepala, mencoba mencari topik pembicaraan berikutnya, tidak bisa menemukan topik lain yang cocok, keduanya berjalan dalam diam.
Setelah berjalan-jalan sebentar, mereka pergi ke bagian yang menjual camilan paling terkenal di Kota Pasirbumi, Ariella menarik Carlson: “Bagaimana kalau kita pergi ke tempat ini untuk melihat-lihat?”
Carlson mengangguk.
Ada banyak orang di akhir pekan, tempat ini dipenuhi orang, setiap kios penuh dengan orang di depan mereka, mereka harus mengantri untuk membeli barang.
Mencium aroma makanan, Ariella merasa lapar, dia sangat ingin makan cumi teppanyaki, menarik Carlson untuk berdiri di tengah orang banyak dan mengantri, dengan serius memperkenalkan: “Cumi-cumi teppanyaki ini sangat lezat, kupastikan kamu masih akan ingin memakannya ketika sudah memakannya.”
Carlson memiliki penyakit suka kebersihan, dia tidak akan memakan makanan di hotel jika bukan orangnya sendiri yang membuatnya, apalagi kios-kios jalanan seperti ini.
Ariella mencium bau yang sangat lezat, tapi yang dicium Carlson adalah bau racun.
Di sini orang-orang datang dan pergi, bilik-bilik ini ditempatkan di kedua sisi lorong, bakteri dan debu di mana-mana, bagaimana mungkin dia menyukainya.
Tapi melihat Ariella yang begitu gembira, Carlson tidak tega mengguyurkan air dingin padanya. Karena Ariella ingin makan, maka dia akan menemaninya sekali ini.
Setelah mengantri selama beberapa menit, Ariella akhirnya membeli empat tusuk sate cumi.
Dia mengambil satu tusuk untuk Carlson: “Ayo makan. Aku yang traktir.”
Carlson mengambil sate cumi itu, mengambilnya di tangannya tapi dia tidak bergerak.
Ketika Ariella menggigit sate cumi itu, dua mengangguk keras dan berkata memuji: “Benar-benar sangat lezat.”
Carlson menahan penolakan batinnya kemudian menggigitnya, rasanya masih lumayan, tapi dia tidak bisa melewati pertahanan di hatinya, jadi baginya dia seakan sedang memakan sesuap bakteri.
Meskipun begitu menolak, tapi Carlson tidak menunjukkannya.
Ariella memperhatikan Carlson yang sedang makan, menghela nafas, pria ini benar-benar sangat elegan, bahkan memakan sesuatu di pinggir jalan pun bisa makan dengan sangat anggun seakan sedang memakan abalon.
Melihat Carlson yang begitu elegan, kemudian melihat dirinya sendiri yang makan seperti anak kecil yang kelaparan, apa dia masih bisa bersenang-senang hati ini.
Ketika sedang berpikir, Carlson tiba-tiba mengulurkan tangan, ibu jarinya yang kasar dengan lembut menyeka bibir Ariella: “Mulutmu penuh minyak.”
“Apa kamu mempermasalahkannya?” Ariella tidak hanya sangat jelek ketika makan, bahkan dengan tidak tahu malunya bertanya pada Carlson.
“Tidak.” Carlson kembali menjawab dengan jawaban singkat.
Tapi hatinya tidak setenang yang terlihat di permukaan, Carlson bahkan ingin menggunakan mulutnya alih-alih apa yang baru saja dilakukan oleh jari-jarinya padanya.
Mendengar jawaban yang memuaskan, Ariella tersenyum dan mengambil tusuk sate yang ada di tangan Carlson kemudian melemparkannya ke tempat sampah, bertanya: “Apa lagi yang ingin kamu makan?”
Carlson awalnya berpikir bahwa benda-benda ini semuanya adalah bakteri, tapi karena ada Ariella yang menemani, dia terpaksa berpikir bahwa benda-benda ini juga dapat dimakan.
Jadi Carlson berkata: “Aku tidak pemilih, apa pun bisa.”
“Ariella? Presdir Carlson?”
Suara Lindsey tiba-tiba terdengar di belakang mereka, membuat Ariella terkejut hingga dia dengan cepat mundur dua langkah, membuka jarak dengan Carlson.
Begitu Ariella menoleh, dia melihat Lindsey dan Helen, keduanya sedang berangkulan menatapnya dan Carlson dengan tatapan bingung.
“Presdir Carlson, Ariella, kalian sedang berjalan-jalan bersama?” Lindsey merupakan orang yang sangat lugas, dia akan mengatakan apa yang dia pikirkan di dalam hatinya.
Ariella tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, jika mengatakan tidak sudah pasti akan melukai Carlson, jika mengatakan iya tapi dia tidak punya keberanian.
Tanpa sadar Ariella mengigit bibirnya dengan erat, hatinya panik dan kacau, tangan yang tergantung di sisinya secara tidak sadar mengepal.
Saat ini, suara rendah Carlson terdengar di telinganya: “Ariella, Daiva sudah akan datang, uruslah urusanmu.”
“Oh …” Ariella menjawab sekilas, melirik Carlson secara tidak sadar, Carlson selalu membantunya menyelesaikan masalah ketika dia sangat membutuhkannya.
Carlson bisa melihat bahwa Ariella takut untuk mengakui hubungan di antara mereka, Carlson tahu bahwa Ariella tidak ingin menerima banyak perhatian di perusahaan karena hubungan mereka, Ariella selalu ingin memanjat dengan usahanya sendiri, tidak ingin orang lain menunjuk di belakangnya.
Pandangan mata Carlson datar, setelah berbicara dia kemudian mengangguk sekilas, berbalik dan pergi, bahkan tidak melihat ke arah Lindsey dan Helen.
“Ariella, kamu benar-benar tidak sedang berjalan-jalan dengan Presdir Carlson?” Setelah Carlson pergi, Lindsey langsung bertanya.
“Presdir Carlson sudah punya istri, bagaimana mungkin berjalan-jalan dengan Ariella. Benar kan Ariella?” Perkataan Helen ini membantu Ariella, tapi jika mendengarnya dengan hati Ariella merasakan rasa masam di hatinya.
Ariella tersenyum canggung, tidak berbicara, entah kenapa, hatiku masam, sangat sedih.
Lindsey menarik Ariella: “Ariella, karena kamu sendiri, kalau begitu berjalan-jalan bersama kami saja.”
Tidak peduli Ariella setuju atau tidak, Lindsey yang tidak memiliki niat jahat lalu menarik Ariella dan pergi, Ariella hanya mengikuti mereka dengan santai.
Makanan, pakaian, aksesoris – sederetan barang yang mempesona ada di hadapannya, tapi Ariella sama sekali tidak punya niat untuk memilih.
Yang sedang dia pikirkan adalah tatapan mata kesepian Carlson tadi.
Carlson jarang meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dengannya, mengapa Ariella menghabiskan waktu yang sangat berharga karena sifat takutnya yang tidak jelas ini?
“Lindsey, Helen, maaf, aku masih ada urusan jadi aku pergi dulu.” Ariella masih ingin bersama dengan Carlson, tidak ingin berjalan-jalan dengan Lindsey dan yang lainnya.
“Kamu tidak bersama dengan kami?” Lindsey bertanya dengan sedikit kecewa.
Helen bergegas mencubit Lindsey dan berkata: “Ariella, kalau begitu pergilah, tidak perlu menemani kami.”
“Ya.” Ariella mengangguk dan pergi.
Melihat Ariella yang pergi menjauh, Lindsey menoleh dan melotot pada Helen: “Untuk apa kamu mencubitku tadi?”
“Apa kamu tidak bisa melihatnya?” Helen melihat ke arah di mana Ariella menghilang, sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak jelas, “Lihat saja, di divisi kita akan ada orang yang posisinya naik dengan cepat.”
Presdir Carlson mereka ini merupakan seorang kaisar kerjaan bisnis dalam soal pekerjaan, tapi dia seperti orang idiot dalam hal yang berhubungan dengan cara bagaimana membuat seorang wanita bahagia.
Langkah pertama, tidak memakai supir, jangan ada asisten di sekitar, dua orang berjalan dengan santai, mengobrol dan meningkatkan perasaan mereka.
Jadi Carlson menyuruh supir dan asistennya pergi, kemudian menarik Ariella untuk berjalan-jalan, tapi dia tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
“Apa kamu suka?” Tanya Carlson.
Nada bicara Carlson sangat berhati-hati dan serius, jika Ariella mengatakan dia tidak menyukainya, maka Carlson benar-benar tidak tahu bagaimana dia harus membuat Ariella bahagia.
Ariella mengangguk: “Kamu bilang itu adalah tempat yang disukai oleh para wanita. Aku wanita, tentu saja aku juga akan menyukainya.”
Setelah selesai berbicara, Ariella memberinya senyum lebar yang menyatakan rasa kepuasannya.
“Hmm.” Carlson menjawab sekilas, tapi dalam hatinya dia mengerti, senyum Ariella ini tidak sama dengan sebelumnya.
Kemudian, Carlson tidak berbicara lagi, menggandeng tangan Ariella kemudian berjalan dengan santai ke depan.
“Apa kamu merasa bosan berjalan-jalan keluar denganku?” Carlson tidak mengambil inisiatif untuk mengobrol, jadi Ariella tidak punya pilihan selain mencari topik pembicaraan.
“Tidak bosan.” Carlson menjawab dengan sangat sederhana. Jika bosan, dia tidak akan meminta Ariella untuk keluar berjalan-jalan bersama.
Jawaban Carlson ini benar-benar memutuskan topik pembicaraan.
Ariella menghela nafas dalam hatinya, benar-benar Presdir yang sangat dingin.
Ariella menggaruk kepala, mencoba mencari topik pembicaraan berikutnya, tidak bisa menemukan topik lain yang cocok, keduanya berjalan dalam diam.
Setelah berjalan-jalan sebentar, mereka pergi ke bagian yang menjual camilan paling terkenal di Kota Pasirbumi, Ariella menarik Carlson: “Bagaimana kalau kita pergi ke tempat ini untuk melihat-lihat?”
Carlson mengangguk.
Ada banyak orang di akhir pekan, tempat ini dipenuhi orang, setiap kios penuh dengan orang di depan mereka, mereka harus mengantri untuk membeli barang.
Mencium aroma makanan, Ariella merasa lapar, dia sangat ingin makan cumi teppanyaki, menarik Carlson untuk berdiri di tengah orang banyak dan mengantri, dengan serius memperkenalkan: “Cumi-cumi teppanyaki ini sangat lezat, kupastikan kamu masih akan ingin memakannya ketika sudah memakannya.”
Carlson memiliki penyakit suka kebersihan, dia tidak akan memakan makanan di hotel jika bukan orangnya sendiri yang membuatnya, apalagi kios-kios jalanan seperti ini.
Ariella mencium bau yang sangat lezat, tapi yang dicium Carlson adalah bau racun.
Di sini orang-orang datang dan pergi, bilik-bilik ini ditempatkan di kedua sisi lorong, bakteri dan debu di mana-mana, bagaimana mungkin dia menyukainya.
Tapi melihat Ariella yang begitu gembira, Carlson tidak tega mengguyurkan air dingin padanya. Karena Ariella ingin makan, maka dia akan menemaninya sekali ini.
Setelah mengantri selama beberapa menit, Ariella akhirnya membeli empat tusuk sate cumi.
Dia mengambil satu tusuk untuk Carlson: “Ayo makan. Aku yang traktir.”
Carlson mengambil sate cumi itu, mengambilnya di tangannya tapi dia tidak bergerak.
Ketika Ariella menggigit sate cumi itu, dua mengangguk keras dan berkata memuji: “Benar-benar sangat lezat.”
Carlson menahan penolakan batinnya kemudian menggigitnya, rasanya masih lumayan, tapi dia tidak bisa melewati pertahanan di hatinya, jadi baginya dia seakan sedang memakan sesuap bakteri.
Meskipun begitu menolak, tapi Carlson tidak menunjukkannya.
Ariella memperhatikan Carlson yang sedang makan, menghela nafas, pria ini benar-benar sangat elegan, bahkan memakan sesuatu di pinggir jalan pun bisa makan dengan sangat anggun seakan sedang memakan abalon.
Melihat Carlson yang begitu elegan, kemudian melihat dirinya sendiri yang makan seperti anak kecil yang kelaparan, apa dia masih bisa bersenang-senang hati ini.
Ketika sedang berpikir, Carlson tiba-tiba mengulurkan tangan, ibu jarinya yang kasar dengan lembut menyeka bibir Ariella: “Mulutmu penuh minyak.”
“Apa kamu mempermasalahkannya?” Ariella tidak hanya sangat jelek ketika makan, bahkan dengan tidak tahu malunya bertanya pada Carlson.
“Tidak.” Carlson kembali menjawab dengan jawaban singkat.
Tapi hatinya tidak setenang yang terlihat di permukaan, Carlson bahkan ingin menggunakan mulutnya alih-alih apa yang baru saja dilakukan oleh jari-jarinya padanya.
Mendengar jawaban yang memuaskan, Ariella tersenyum dan mengambil tusuk sate yang ada di tangan Carlson kemudian melemparkannya ke tempat sampah, bertanya: “Apa lagi yang ingin kamu makan?”
Carlson awalnya berpikir bahwa benda-benda ini semuanya adalah bakteri, tapi karena ada Ariella yang menemani, dia terpaksa berpikir bahwa benda-benda ini juga dapat dimakan.
Jadi Carlson berkata: “Aku tidak pemilih, apa pun bisa.”
“Ariella? Presdir Carlson?”
Suara Lindsey tiba-tiba terdengar di belakang mereka, membuat Ariella terkejut hingga dia dengan cepat mundur dua langkah, membuka jarak dengan Carlson.
Begitu Ariella menoleh, dia melihat Lindsey dan Helen, keduanya sedang berangkulan menatapnya dan Carlson dengan tatapan bingung.
“Presdir Carlson, Ariella, kalian sedang berjalan-jalan bersama?” Lindsey merupakan orang yang sangat lugas, dia akan mengatakan apa yang dia pikirkan di dalam hatinya.
Ariella tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, jika mengatakan tidak sudah pasti akan melukai Carlson, jika mengatakan iya tapi dia tidak punya keberanian.
Tanpa sadar Ariella mengigit bibirnya dengan erat, hatinya panik dan kacau, tangan yang tergantung di sisinya secara tidak sadar mengepal.
Saat ini, suara rendah Carlson terdengar di telinganya: “Ariella, Daiva sudah akan datang, uruslah urusanmu.”
“Oh …” Ariella menjawab sekilas, melirik Carlson secara tidak sadar, Carlson selalu membantunya menyelesaikan masalah ketika dia sangat membutuhkannya.
Carlson bisa melihat bahwa Ariella takut untuk mengakui hubungan di antara mereka, Carlson tahu bahwa Ariella tidak ingin menerima banyak perhatian di perusahaan karena hubungan mereka, Ariella selalu ingin memanjat dengan usahanya sendiri, tidak ingin orang lain menunjuk di belakangnya.
Pandangan mata Carlson datar, setelah berbicara dia kemudian mengangguk sekilas, berbalik dan pergi, bahkan tidak melihat ke arah Lindsey dan Helen.
“Ariella, kamu benar-benar tidak sedang berjalan-jalan dengan Presdir Carlson?” Setelah Carlson pergi, Lindsey langsung bertanya.
“Presdir Carlson sudah punya istri, bagaimana mungkin berjalan-jalan dengan Ariella. Benar kan Ariella?” Perkataan Helen ini membantu Ariella, tapi jika mendengarnya dengan hati Ariella merasakan rasa masam di hatinya.
Ariella tersenyum canggung, tidak berbicara, entah kenapa, hatiku masam, sangat sedih.
Lindsey menarik Ariella: “Ariella, karena kamu sendiri, kalau begitu berjalan-jalan bersama kami saja.”
Tidak peduli Ariella setuju atau tidak, Lindsey yang tidak memiliki niat jahat lalu menarik Ariella dan pergi, Ariella hanya mengikuti mereka dengan santai.
Makanan, pakaian, aksesoris – sederetan barang yang mempesona ada di hadapannya, tapi Ariella sama sekali tidak punya niat untuk memilih.
Yang sedang dia pikirkan adalah tatapan mata kesepian Carlson tadi.
Carlson jarang meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dengannya, mengapa Ariella menghabiskan waktu yang sangat berharga karena sifat takutnya yang tidak jelas ini?
“Lindsey, Helen, maaf, aku masih ada urusan jadi aku pergi dulu.” Ariella masih ingin bersama dengan Carlson, tidak ingin berjalan-jalan dengan Lindsey dan yang lainnya.
“Kamu tidak bersama dengan kami?” Lindsey bertanya dengan sedikit kecewa.
Helen bergegas mencubit Lindsey dan berkata: “Ariella, kalau begitu pergilah, tidak perlu menemani kami.”
“Ya.” Ariella mengangguk dan pergi.
Melihat Ariella yang pergi menjauh, Lindsey menoleh dan melotot pada Helen: “Untuk apa kamu mencubitku tadi?”
“Apa kamu tidak bisa melihatnya?” Helen melihat ke arah di mana Ariella menghilang, sudut bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak jelas, “Lihat saja, di divisi kita akan ada orang yang posisinya naik dengan cepat.”