Viet Writer
Và Mai Có Nắng
-
Bab 1038
Bab 1038 Luka
Di hotel.
Kamar yang dibuka Sebastian adalah kamar mewah, 2 kamar tidur 1 ruang tamu, kamar tidur utama dia yang tidur, kamar kedua tentu untuk Jane.
Mereka berdua basah kuyup karena kehujanan, sesampainya di hotel masing-masing masuk kamar dan mandi air panas.
Rambut Janepanjang, setelah mandi perlu waktu panjang untuk mengeringkan rambut, dia memakai baju tidur kartun yang diberikan kepadanya, Sebastian sudah menunggunya di ruang tamu.
Dia tidak ada baju tidur, hanya memakai handuk, tidak tahu sengaja tidak membiarkan dia melihat, pokoknya dia six pack.
Dibandingkan dengan six pack nya matanya tertuju ke luka yang dekat dengan jantung, lukanya sangat dalam, tetapi hanya bisa sekilas melihatnya.
Luka yang dekat dengan jantung itu, mematikan.
Sebastian melihat dia melihatnya, perasaan menjadi gembira, menanyakannya dengan suara gembira: “Lihat apa?”
Janeduduk tidak jauh darinya, melihat dia seperti itu: “Merasa kamu ganteng, dilihat, tidak boleh?”
Nadanya yang menantang, tetapi dalam perkataannya membuat dia suka, Sebastian menunjuk ke samping: “minum obat itu.”
Janelangsung berdiri mundur: “Kamu mau meracuni aku?”
Sebastian dengan tajam menjawab: “Jane, apa kamu punya khayalan yang dianiaya?”
Jane lalu duduk kembali: “Hidup dengan orang sepertimu, harus lebih berhati-hati, aku mungkin akan membantu menghitung uang waktu kamu menjualku.”
Sebastian berkata lagi: “Di dalam hatimu aku demikian jahat?”
Jane merenggangkan bahu: “Kalau tidak?”
Benar juga, dia memaksanya, masih membuat dia disampingnya, kalau bukan dia jahat siapa yang jahat.
Melihat dia tidak berbicara, Jane melihat gelas: “Sebastian, jangan-jangan kamu benar-benar menaruh racun ya.”
Sebastian menjawab: “Obat pencegah demam.”
“Badanku sangat kuat, tidak gampang demam, tidak perlu minum.” Jane tidak peduli dia percaya atau tidak, pokoknya dia tidak mau minum, dia memegang perutnya, “dibandingkan dengan minum obat, aku lebih mau makan.”
Perutnya bekerja sama dengan baik, gruk.. gruk.. berbunyi, dia juga bilang: “Aku di pesawat makan, sampai sekarang belum makan lagi.”
Ding dong —-
Sebastian masih belum menjawab, bel di kamar berbunyi, dia segera membukakan pintu, sambil mendorong kereta makanan masuk sambil berkata: “setelah makan baru suruh pelayan mengambilnya.”
Melihat makanan yang sangat wangi, Jane dua mata bersinar: “itu itu …… ini semua yang disiapkan untukku?”
Sebastian tidak menjawabnya, membalikkan badan pergi ke kamar tidur, di belakang terdengar suara riang Jane: “Tuan muda Tanjaya, kamu tidak mau makan? Kalau gitu terima kasih!”
Dia tidak menjawab, tetapi dia sedang memikirkan satu masalah, dia hanya menyiapkan makan malam untuk nya, dia sudah begitu senang.
Dia begitu gampang puas?
Kenapa wanita ini tidak pernah tersentuh oleh perbuatannya?
Demi dia berbuat banyak hal, jika mau memberikan nyawanya juga akan diberikan, tetapi dia menganggapnya seperti musuh, tidak pernah memasukkan dirinya ke dalam hati.
Mengapa hati wanita itu begitu kejam?
Dia berkali-kali menanyakan kepada dirinya sendiri, tetapi tidak menemukan jawabannya.
Mungkin kali ini dalam hati nya sudah ada jawaban, cuman dia tidak mau mengakuinya.
……
Huk.. huk..
Luka lama, tiap hujan deras angina kencang, pasti akan kambuh, terlebih hari ini demi mencar Jane, Sebastian kehujanan, keadaan lebih gawat lagi.
Dia sudah batuk lama, tetapi suara batuk tidak berhenti, Janeyang sedang makan dengan gembira di ruang tamu mendengar suara batuk.
Apakah dia demam?
Jane memandang rendah dia, seorang pria, tubuh sangat lemah, tidak seperti dia wanita kurus dan kecil.
Dia lanjut memakan dengan gembira, sepiring-piring, makan sampai kenyang, baru menyuruh pelayan mengambilnya.
Saat dia ingin kembali ke kamarnya, kamar utama terdengar suara batuk, makin lama makin parah, Janemengetuk pintunya.
Tidak ada jawaban, dia memutar gagang pintu, untung tidak dikunci, dia mendorong pintu dan masuk: “Tuan muda Tanjaya, apa kamu demam?”
“Siapa suruh kamu masuk? Keluar!” kamar tidak membuka lampu, Jane tidak bisa melihatnya, hanya bisa mendengar suaranya yang dingin.
“Kamu pikir aku mau masuk?” Dia mendengar suara batuknya parah, khawatir dia kenapa-kenapa, jangan-jangan ntar dia dibilang pembunuh.
Jane membanting pintu, dengan kejam berkata: “Kalau begitu kamu sembunyi di dalam batuk saja, batuk sampai mati, tidak akan ada yang datang melihatmu.”
Jane balik ke kamarnya, bersiap tidur di dalam selimutnya, tidak tahu kenapa, padahal sangat cape, tetapi tidak bisa tidur, otaknya berpikir macam-macam.
Sebastian batuknya sangat hebat, dia di kamar samping saja bisa mendengar, kalau-kalau ada apa-apa, bisa-bisa dia dibilang wanita yang punya nyawa kuat, menikah dengan siapa siapa mati.
Walaupun dia sangat memikirkannya, tetapi di saat bersamaan, pasti akan menjadi bayangan seumur hidup.
Setelah berpikir lagi, Jane memberanikan diri berdiri di pintu kamar Sebastian
Dia menguping di depan pintu mendengar ada suara apa, setelah beberapa lama, dari dalam tidak terdengar suara batuk lagi.
Mungkin, dia sudah tertidur.
Bisa tidur, dilihat penyakitnya tidak terlalu parah, dia balik tidur saja.
Jane membalikkan badan, sudah berjalan beberapa langkah berpikir, tadi masih batuk parah, tidak minum obat, kenapa batuk tiba-tiba berhenti?
Apa dia sudah mati?
Karena pikiran ini, Jane gemetaran, tiba-tiba merasa belakang punggungnya dingin, sangat menakutkan.
Gawat!
Satu kamar dengan orang mati, apa dia perlu telpon polisi?
Tidak bagus, mending liat keadaan dulu, kalau dia masih ada nafas, dia mesti segera menelpon 120 melakukan penyelamatan.
Meskipun dia sangat menyebalkan, tetapi juga nyawa orang.
Jane mendorong pintu masuk, tiba-tiba angin besar bertiup, hampir meniup dia keluar, dia menarik pintu untuk membuatnya berdiri.
“Cari mati!” orang ini batuk parah, masih membuka jendela kamar, angin besar hujan deras, dia benar-benar mau cari mati.
Tolong deh, kalau dia mau cari mati, tolong ganti tempat dan waktu, jangan waktu sama dia boleh ga?
Dalam kamar masih gelap, Jane meraba-raba baru bisa menemukan stopkontak, membuka lampu, sekali liat, di ranjang tidak ada orang.
Kemana dia?
Janemelihat sekitar, sofa yang berada di samping jendela, dia dengan tenang duduk di sofa, melihat keluar, seperti dia tertarik ke arah itu.
Di hotel.
Kamar yang dibuka Sebastian adalah kamar mewah, 2 kamar tidur 1 ruang tamu, kamar tidur utama dia yang tidur, kamar kedua tentu untuk Jane.
Mereka berdua basah kuyup karena kehujanan, sesampainya di hotel masing-masing masuk kamar dan mandi air panas.
Rambut Janepanjang, setelah mandi perlu waktu panjang untuk mengeringkan rambut, dia memakai baju tidur kartun yang diberikan kepadanya, Sebastian sudah menunggunya di ruang tamu.
Dia tidak ada baju tidur, hanya memakai handuk, tidak tahu sengaja tidak membiarkan dia melihat, pokoknya dia six pack.
Dibandingkan dengan six pack nya matanya tertuju ke luka yang dekat dengan jantung, lukanya sangat dalam, tetapi hanya bisa sekilas melihatnya.
Luka yang dekat dengan jantung itu, mematikan.
Sebastian melihat dia melihatnya, perasaan menjadi gembira, menanyakannya dengan suara gembira: “Lihat apa?”
Janeduduk tidak jauh darinya, melihat dia seperti itu: “Merasa kamu ganteng, dilihat, tidak boleh?”
Nadanya yang menantang, tetapi dalam perkataannya membuat dia suka, Sebastian menunjuk ke samping: “minum obat itu.”
Janelangsung berdiri mundur: “Kamu mau meracuni aku?”
Sebastian dengan tajam menjawab: “Jane, apa kamu punya khayalan yang dianiaya?”
Jane lalu duduk kembali: “Hidup dengan orang sepertimu, harus lebih berhati-hati, aku mungkin akan membantu menghitung uang waktu kamu menjualku.”
Sebastian berkata lagi: “Di dalam hatimu aku demikian jahat?”
Jane merenggangkan bahu: “Kalau tidak?”
Benar juga, dia memaksanya, masih membuat dia disampingnya, kalau bukan dia jahat siapa yang jahat.
Melihat dia tidak berbicara, Jane melihat gelas: “Sebastian, jangan-jangan kamu benar-benar menaruh racun ya.”
Sebastian menjawab: “Obat pencegah demam.”
“Badanku sangat kuat, tidak gampang demam, tidak perlu minum.” Jane tidak peduli dia percaya atau tidak, pokoknya dia tidak mau minum, dia memegang perutnya, “dibandingkan dengan minum obat, aku lebih mau makan.”
Perutnya bekerja sama dengan baik, gruk.. gruk.. berbunyi, dia juga bilang: “Aku di pesawat makan, sampai sekarang belum makan lagi.”
Ding dong —-
Sebastian masih belum menjawab, bel di kamar berbunyi, dia segera membukakan pintu, sambil mendorong kereta makanan masuk sambil berkata: “setelah makan baru suruh pelayan mengambilnya.”
Melihat makanan yang sangat wangi, Jane dua mata bersinar: “itu itu …… ini semua yang disiapkan untukku?”
Sebastian tidak menjawabnya, membalikkan badan pergi ke kamar tidur, di belakang terdengar suara riang Jane: “Tuan muda Tanjaya, kamu tidak mau makan? Kalau gitu terima kasih!”
Dia tidak menjawab, tetapi dia sedang memikirkan satu masalah, dia hanya menyiapkan makan malam untuk nya, dia sudah begitu senang.
Dia begitu gampang puas?
Kenapa wanita ini tidak pernah tersentuh oleh perbuatannya?
Demi dia berbuat banyak hal, jika mau memberikan nyawanya juga akan diberikan, tetapi dia menganggapnya seperti musuh, tidak pernah memasukkan dirinya ke dalam hati.
Mengapa hati wanita itu begitu kejam?
Dia berkali-kali menanyakan kepada dirinya sendiri, tetapi tidak menemukan jawabannya.
Mungkin kali ini dalam hati nya sudah ada jawaban, cuman dia tidak mau mengakuinya.
……
Huk.. huk..
Luka lama, tiap hujan deras angina kencang, pasti akan kambuh, terlebih hari ini demi mencar Jane, Sebastian kehujanan, keadaan lebih gawat lagi.
Dia sudah batuk lama, tetapi suara batuk tidak berhenti, Janeyang sedang makan dengan gembira di ruang tamu mendengar suara batuk.
Apakah dia demam?
Jane memandang rendah dia, seorang pria, tubuh sangat lemah, tidak seperti dia wanita kurus dan kecil.
Dia lanjut memakan dengan gembira, sepiring-piring, makan sampai kenyang, baru menyuruh pelayan mengambilnya.
Saat dia ingin kembali ke kamarnya, kamar utama terdengar suara batuk, makin lama makin parah, Janemengetuk pintunya.
Tidak ada jawaban, dia memutar gagang pintu, untung tidak dikunci, dia mendorong pintu dan masuk: “Tuan muda Tanjaya, apa kamu demam?”
“Siapa suruh kamu masuk? Keluar!” kamar tidak membuka lampu, Jane tidak bisa melihatnya, hanya bisa mendengar suaranya yang dingin.
“Kamu pikir aku mau masuk?” Dia mendengar suara batuknya parah, khawatir dia kenapa-kenapa, jangan-jangan ntar dia dibilang pembunuh.
Jane membanting pintu, dengan kejam berkata: “Kalau begitu kamu sembunyi di dalam batuk saja, batuk sampai mati, tidak akan ada yang datang melihatmu.”
Jane balik ke kamarnya, bersiap tidur di dalam selimutnya, tidak tahu kenapa, padahal sangat cape, tetapi tidak bisa tidur, otaknya berpikir macam-macam.
Sebastian batuknya sangat hebat, dia di kamar samping saja bisa mendengar, kalau-kalau ada apa-apa, bisa-bisa dia dibilang wanita yang punya nyawa kuat, menikah dengan siapa siapa mati.
Walaupun dia sangat memikirkannya, tetapi di saat bersamaan, pasti akan menjadi bayangan seumur hidup.
Setelah berpikir lagi, Jane memberanikan diri berdiri di pintu kamar Sebastian
Dia menguping di depan pintu mendengar ada suara apa, setelah beberapa lama, dari dalam tidak terdengar suara batuk lagi.
Mungkin, dia sudah tertidur.
Bisa tidur, dilihat penyakitnya tidak terlalu parah, dia balik tidur saja.
Jane membalikkan badan, sudah berjalan beberapa langkah berpikir, tadi masih batuk parah, tidak minum obat, kenapa batuk tiba-tiba berhenti?
Apa dia sudah mati?
Karena pikiran ini, Jane gemetaran, tiba-tiba merasa belakang punggungnya dingin, sangat menakutkan.
Gawat!
Satu kamar dengan orang mati, apa dia perlu telpon polisi?
Tidak bagus, mending liat keadaan dulu, kalau dia masih ada nafas, dia mesti segera menelpon 120 melakukan penyelamatan.
Meskipun dia sangat menyebalkan, tetapi juga nyawa orang.
Jane mendorong pintu masuk, tiba-tiba angin besar bertiup, hampir meniup dia keluar, dia menarik pintu untuk membuatnya berdiri.
“Cari mati!” orang ini batuk parah, masih membuka jendela kamar, angin besar hujan deras, dia benar-benar mau cari mati.
Tolong deh, kalau dia mau cari mati, tolong ganti tempat dan waktu, jangan waktu sama dia boleh ga?
Dalam kamar masih gelap, Jane meraba-raba baru bisa menemukan stopkontak, membuka lampu, sekali liat, di ranjang tidak ada orang.
Kemana dia?
Janemelihat sekitar, sofa yang berada di samping jendela, dia dengan tenang duduk di sofa, melihat keluar, seperti dia tertarik ke arah itu.